Masih belum terhapus dari ingatan kita dengan peristiwa kabut asap yang mengepung warga di Pulau Sumatra, Kalimantan dan Riau beberapa bulan yang lalu sehingga mereka tidak nyaman dalam menjalani aktifitas sehari-hari baik di rumah, ke kantor, ke sekolah maupun aktifitas lainnya.
Asap tebal yang terjadi berhari-hari tersebut menjadi topik hangat di media. Presiden Joko Widodo langsung turun ke lapangan untuk mengatasinya. Bantuan dari sejumlah negara juga datang untuk memadamkan terjadinya kebakaran tersebut.
Peristiwa sekitar Juli hingga November 2015 tersebut terjadi saat cuaca ekstrim atau peristiwa el nino di tanah air sehingga pembakaran lahan dengan cepat merambat kemana-mana.
Pada peristiwa kabut asap tersebut pembakaran lahan gambut dituding sebagai salah satu penyebabnya karena itu pemerintah meresponnya dengan adanya Surat Edaran Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan tertanggal 3 dan 4 November 2015 tentang Pelarangan Pembukaan Lahan Gambut Untuk Pertanian dan Hutan Tanaman Industri.
Sedangkan data dari Global Forest Watch penyebaran titik api 59 persen berada di hutan negara, 26 persen pada Hutan Tanaman Industri (HTI), 10 persen pada konsesi perkebunan sawit dan lima persen konsesi logging.
Pada saat kebakaran lahan gambut terjadi di Indonesia terutama di Kalimantan Barat pada saat yang sama kebakaran lahan justru tidak terjadi di Negara Bagian Sarawak, Malaysia, padahal sama-sama satu kepulauan.
Bagaimana pengelolaan gambut di Malaysia ?. Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) telah memfasilitasi sejumlah wartawan untuk mengikuti workshop pengelolaan lahan gambut di Sarawak akhir Februari lalu.
Workshop juga diikuti oleh guru besar ekologi hutan Universitas Kyoto Jepang, Prof Hisao Furukawa dan pakar gambut IPB DR Basuki Sumawinata.
Di Sarawak gambut bisa dikelola dengan baik sehingga tidak terbakar. Sarawak merupakan kawasan gambut terbesar dengan luasan 1,6 juta hektar lahan gambut atau 13 persen dari luas daratan.
"Kami menggunakan teknologi pemadatan dan tata kelola air yang baik. Teknologi ini harus dilakukan mulai dari petani kecil hingga korporasi besar agar pemnafaatan gambut maksimal," kata Director of Tropical Peat Research Laboratory (TPRL) Malaysia, Lulie Melling.
Perkebunan kelapa sawit mendapat dukungan pemerintah Malaysia karena memberikan kontribusi bagi perekonomian serta menyediakan lapangan pekerjaan dalam jumlah besar.
Kegiatan disana juga mendorong perbaikan kawasan gambut karena dikelola secara benar oleh korporasi. "Tata kelola air yang baik dan pemadatan mampu mempertahankan kelembaban lahan gambut serta menjaga cadangan air sehingga gambut tetap basah," kata Lulie.
Malaysia terselamatkan krisis ekonomi tiga kali berkat kontribusi yang diberikan industri kelapa sawit.
"Penanaman sawit di lahan bambut ibarat itik bertelur emas. Pemerintah sudah seharusnya mendukung kegiatan perkebunan yang dilakukan secara lestari di kawasan gambut," kata Lulie Melling.
Dalam beberapa tahun terakhir, di Serawak, jumlah areal perkebunan sawit naik dua kali lipat. Dari segi ekonomi di Sarawak, pendapatan secara langsung sawit di lahan gambut mencapai 400 juta RM - 500 juta RM per tahun.
Menurut Lulie, kegiatan gambut sangat mendorong pembangunan ekonomi, meski pemerintah memberlakukan pajak yang cukup tinggi. Saat ini, gambut menjadi komoditas unggulan di dunia. Indonesia dan Malaysia merupakan pemain utama dunia yang nyaris tanpa pesaing.
Pusat Riset Gambut
Pemerintah Malaysia telah mendirikan Tropical Peat Research Laboratory (TPRL) atau Laboratorium Pusat Riset Gambut Tropis sebagai bukti keseriusan pemerintah negara tersebut dalam pengelolaan sawit karena komoditas ini nyata memberikan devisa yang besar bagi negara.
Laboratorium riset gambut didirikan oleh pemerintah setempat di Kuching, ibukota Negara Bagian Sarawak. Di negara bagian yang berbatasan dengan Kalimantan Barat tersebut, 70 persen populasi lahan gambut negara jiran ini berada.
Pusat riset yang dipimpin Dr Lulie Melling, doktor peneliti gambut alumni Jepang, berdiri dengan megah diatas lahan seluas 50 hektar dan 10 hektar diantaranya merupakan bangunan yang menjadi pusat riset yang moderen.
Beragam peralatan riset dan hasil riset ditemukan di gedung megah tersebut. Ada peralatan canggih yang dinamakan eddy covariance mini tower atau alat yang bisa digunakan untuk mendeteksi karbon dioksida, beraneka tabung dan komputer serta sejumlah sampel tanah yang ditata rapi dalam lemari plastik.
Pada lantai dasar (ground) pusat riset tersebut difungsikan sebagai tempat resepsi atau penerima tamu, ruang pameran atau area galeri, laboratorium, auditorium dan ruang pengunjung.
Di ruangan ini juga disediakan sepeda yang bisa digunakan untuk mobilitas antar ruangan. Sedangkan auditorium-nya didesain mewah seperti ruangan di Studio XXI yang ada di Indonesia.
Sedangkan lantai satu diperuntukkan bagi direktur, deputi direktur, ruang pertemuan, ruang pertemuan direktur, divisi administrasi dan manajemen, divisi manajemen informasi, coffe lounge dan tea room.
TPRL memiliki struktur organisasi yang moderen. Dipimpin seorang direktur kemudian dibawahnya ada deputi direktur. Deputi direktur ini membawahi puluhan tim riset yang dibagi berbagai bidang yakni lingkungan, kimia, molekular dan microbiologi.
Masing-masing bidang tim riset ini juga mempunyai asisten riset dan pekerja umum. Selain itu deputi direktur juga membawahi bidang administrasi dan bisnis serta manajemen informasi.
TPRL tidak memiliki petugas kebersihan dan para tim riset bisa bekerja 24 jam kalau memang ada pekerjaan dan target yang belum diselesaikan.
"Kami tidak mempunyai petugas cleaning service. Pada tiap sudut ruangan kami sediakan alat pembersih agar setiap karyawan membersihkan tempatnya sendiri. Tanpa petugas kita lebih disiplin menjaga kebersihan," kata perempuan keturunan Tionghoa tersebut.
TPRL juga memasang alat untuk untuk mengukur karbondioksida dengan mendirikan tiga tower di perkebunan Ta Ann Holdings Berhad, Naman, sebuah hutan dan taman nasional di Sibu, Sarawak.
Pusat riset gambut ini memiliki misi untuk memperbaiki ekosistem dunia karena karbondioksida yang dikeluarkan oleh sawit lebih kecil dibanding minyak kedelai, minyak bunga matahari dan minyak rapeseed.
Lulie Melling menjelaskan pihaknya saat ini juga mengirim tiga perisetnya untuk belajar di Hokkaido dengan sponsor pemerintah Jepang dan ke Amerika Serikat dengan sponsor Ta Ann Holdings.
Pakar Gambut IPB, DR Basuki Sumawinata mengatakan keberadaan TPRL sangat dipengaruhi oleh kepemimpinan dan ide-ide dari Lulie Melling.
"Lulie sangat `gila` dalam bekerja. Usai mengambil sampel dan obervasi di lahan gambut, dia tidak mau peralatannya kotor. Pulang ke pusat riset peralatan harus bersih kembali. Itu ditekankan ke tim-nya," katanya.
Basuki mengatakan Indonesia juga memiliki pusat riset gambut namun tidak sebesar yang ada di Sarawak karena itu pemerintah perlu memperhatikannya kalau ingin pendapatan nasional dari komoditas sawit meningkat.
Pemadatan Lahan
Lahan gambut di Sarawak, Malaysia, tidak terbakar karena lahan gambut dikelola dengan menggunakan teknik pemadatan lahan (compacted soil) yang bisa mengontrol ketinggian air pada lahan tersebut.
Pemadatan ini menggunakan eskavator dengan biaya pemadatan 500 Ringgit Malaysia (RM) per hektar.
Dalam skala tersentu pembakaran gambut tetap ada namun aturannya sangat ketat. Pada musim kemarau tidak boleh melakukan pembakaran lahan. Mereka yang ketahuan melakukan pembakaran lahan dikenai denda 20 ribu RM.
Tanpa teknik pemadatan kapilaritas rendah atau air dari bawah lambat naik ke permukaan sehingga mudah menimbulkan kebakaran. Sedangkan dengan pemadatan kapilasitasnya tinggi.
Guru besar ekologi hutan Universitas Kyoto Jepang Hisao Furukawa mengatakan kunci pengelolaan gambut ada pada pengelolaan tata air (water management) dan pemadatan untuk mencegah gambut dari kekeringan dan subsidensi.
"Teknik pemadatan lebih mempermudah kontrol air. Kalau tanah tidak padat kontrol air lebih susah karena air akan mudah berpindah. Pada lahan gambut dipadatkan, produksi sawit juga akan meningkat," kata Lie Melling.
Pada lahan yang tidak dipadatkan, kebun hanya menghasilkan 15 ton per ha per tahun. Namun jika dipadatkan, produksi sawit bisa meningkat sekitar 25 ton per hektar per tahun. Karena itu teknik pemadatan menjadi bagian penting selain tata kelola air.
"Tanah gambut merupakan tanah yang memiliki bobot isi yang sangat rendah sekitar 0.1 gram per cm kubik. Sebagai gambaran bobot isi tanah mineral sekitar satu gram per centi meter kubik. Dengan bobot isi yang rendah maka secara fisik akar tanaman tidak memperoleh tunjangan mekanik yang cukup kuat utuk menahan beban tanaman terutama setelah tanaman tumbuh besar," ujar ahli gambut IPB, Dr Basuki Sumawinata.
Berita Terkait
Malaysia menolak klaim peta baru Laut China Selatan dikeluarkan China
Kamis, 31 Agustus 2023 8:03 Wib
Imigrasi Malaysia menahan WNI diduga sebagai sindikat penyelundup pekerja migran
Minggu, 19 Februari 2023 21:03 Wib
KJRI Khucing bantu pemulangan jenazah PMI meninggal diterkam buaya di Sarawak
Rabu, 12 Oktober 2022 19:35 Wib
KJRI Kuching Sarawak Malaysia naikkan bendera setengah tiang kenang peristiwa G-30-S/PKI
Jumat, 30 September 2022 11:59 Wib
KJRI Kuching Malaysia pulangkan dua WNI diduga korban TPPO
Rabu, 2 Maret 2022 9:59 Wib
Insiden penembakan, empat anggota Tentara Udara Malaysia terbunuh di TUDM Kuching Sarawak
Jumat, 13 Agustus 2021 15:52 Wib
WNI asal Sulsel bebas hukuman mati dideportasi dari Kuching Malaysia
Rabu, 24 Maret 2021 15:03 Wib
KJRI Kuching siapkan bantuan hukum terkait vonis mati warga asal Kalbar
Selasa, 16 Maret 2021 22:22 Wib