Enrekang, (Antara Sulsel) - Bupati Enrekang, Sulawesi selatan, Muslimin Bando tidak khawatir muncul konflik kepemilikan lahan bila Raperda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat disahkan oleh DPRD setempat.
"Kan sudah ditentukan mana yang tanah adat, mana yang tidak," kata Muslimin saat ditemui di Enrekang, Sulawesi Selatan, Rabu.
Pihaknya berpendapat bahwa masyarakat adat akan bersikap fleksibel bila ada tanah adat mereka yang akan digunakan untuk fasilitas umum.
"Mereka (masyarakat adat) tidak akan kaku kalau memang tanah itu ada yang akan digunakan untuk kepentingan umum," ujarnya.
Dia mengharapkan pemerintah pusat maupun daerah bisa memberikan perhatian secara menyeluruh kepada sejumlah komunitas adat di Kabupaten Enrekang.
"Perhatian pemerintah harus sungguh-sungguh pada komunitas adat. Adatnya dilestarikan, fisiknya dibangun. Itu yang diharapkan," katanya.
Rancangan Perda tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat di Kabupaten Enrekang yang sebelumnya diperjuangkan sejumlah LSM di Sulsel masih dalam tahap pembahasan di DPRD.
Muslimin telah menyetujui usulan Raperda tersebut. "Ini adalah cara agar masyarakat adat itu dapat pengakuan secara hukum. Memang ini butuh waktu," ujarnya.
Raperda tersebut sangat penting karena menjadi payung hukum bagi perlindungan keberadaan komunitas adat di Kabupaten Enrekang.
Dari data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Enrekang tercatat ada sebanyak 48 komunitas adat di daerah itu.
"Ini perlu diangkat, dilestarikan sebagai pewaris sejarah. Saya harap (pengesahan Raperda) ini nggak terlalu lama. Supaya nggak ada komplain. Kalau ada payung hukumnya kan jadi enak," katanya.
Komunitas adat tersebut belum diakui kepemilikan komunalnya yang berbasis adat terutama yang berkaitan dengan tanah. Hal tersebut sering menimbulkan masalah pengelolaan dan penguasaan lahan.
"Langkah ini untuk memperjelas status hutan," katanya.
Kasus ini berawal dari LSM Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) yang menggugat Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2010 terkait Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Dalam UU tersebut dinyatakan bahwa hutan adat masuk dalam wilayah hutan negara.
Atas gugatan tersebut, MK akhirnya mengeluarkan Putusan MK Nomor 35 Tahun 2012 yang mengembalikan hutan adat ke masyarakat adat.
Kendati demikian untuk mendapatkan hutan adat, masyarakat adat setempat harus mendapat pengakuan resmi dalam bentuk peraturan daerah (perda).